Rabu, 06 Maret 2013

Di Bengkel Itu Ada Ayat Allah

By : Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif

 Jika orang punya mata batin yang tajam dan rindu menemukan ayat – ayat Allah, yang tersebar di mana – mana, tak usahlah menguasai  teori  Big Bang (Ledakan Dahsyat). Atau harus paham karya fisikawan invalid inggris, Stephen Hawking – A Brief history of Time – yang belum tentu mudah dicerna.

Ayat Allah dapat dijumpai pada peristiwa atau fenomena alam atau sosial yang sifatnya sangat sederhana. Bisa diamati pada semut yang beriring, pada lebah yang bergantungan, pada bunyi siamang ketika subuh, atau pada kicau murai dipagi hari. Juga pada dengungan kipasan sayap enggang saat terbang tinggi, pada percakapan seorang bocah dengan orang tuanya, serta pada sikap Pak Bengkel yang lugu, tulus, dan murah hati.

Kepatuhan Alami
Demikianlah di hari Natal lalu, 25 Desember 2012 menjelang Dzuhur saya bersepeda di kitaran Desa Trihanggo, Sleman, Yogyakarta, untuk mencari onderdil komponen rantai sepeda yang harus segera di ganti. Jika tuan dan puan melewati jalan kabupaten Sleman dari Jalan Godean mengarah ke utara, dalam jarak sekitar dua kilometer akan dijumpai pohon beringin besar, persis di persimpangan empat jalan. Melaju ke arah timur pada jarak sekitar  1 kilometer  di kanan jalan sebelum jembatan, ada bengkel sepeda yang laris dikunjungi langganannya. Di bengkel inilah saya memperhatikan ayat Allah dalam dua fenomena sederhana yang saling berkaitan. Keterkaitan itu tampak terjalin akrab sekali.

Ada seorang ayah bersama anak perempuannya yang masih belajar di taman kanak – kanak milik A’isyiyah sedang mengganti pedal sepeda bocah ini yang tak lagi bisa di pakai. Warna pedal itu dipilih yang merah jambu agar serasi dengan warna sepedannya. Saya perhatikan baik-baik tingkah bocah alit itu, tampaknya bahagia sekali karena pedal sepedanya di ganti dengan yang baru. Sebuah kebahagiaan yang sangat tulus dari sebuah keluarga kebanyakan.

Tiba-tiba penjaja es krim lewat. Si bocah minta pada ayahnya agar dibelikan es kesu­ka­an­nya itu. Ayahnya dalam bahasa jawa, dengan lembut menjawab “marahi watuk (bisa menye­babkan batuk).” Si bocah sama sekali tidak berontak agar ayahnya memenuhi perminta­annya. Tak ada rengut, tak ada gerutu malah bocah ini senyum-senyum sambil dengan lincah mengitari ayahnya. Bukankah sebenarnya seorang bocah sulit sekali di pisahkan dengan es krim?

Dalam batin, saya menduga bahwa suasana rumah tangga keluarga bocah ini tentram sekali.  Ayat Allah terlihat pada sikap ayah yang lembut terhadap anak dan sikap anak yang patuh kepada orangtua: sebuah kepatuhan alami hasil didikan dini yang teratur dan santun.

Tidak mudah ditemukan di kawasan modern buah didikan anak semacam ini. Kegirangan bocah ini kian memuncak ketika ayahnya melengkapi sepedanya dengan sebuah bel yang di pasang pada bagian kanan setang. Untuk keseluruhan ongkos plus onderdil, Pak Bengkel Cuma meminta Rp 25.000, sebuah angka kacang goreng di kawasan kota.

Sikap Pak Bengkel yang satu ini tak kurang memukau untuk dicacat. Semua serba murah. Ada lagi seorang laki-laki setengah baya (rupanya kenal dengan saya) menambalkan ban sepeda motornya yang bocor. Setelah rampung Pak Bengkel saya tanya berapa ongkosnya. Dijawab, antara Rp 5.000 dan Rp 6.000, padahal pengerjaannya cukup lama karena karet penambal ban harus dipanaskan lebih dulu.

Sekarang tibalah giliran sepeda saya ganti onderdil. Kebetulan barang yang diperlukan tersedia. Ada dua yang boleh diganti. Pak Bengkel bertanya, apakah diganti satu atau dua sekaligus? Jawab saya: mana yang baiklah. Lalu diperiksa: cukup satu saja, katanya. Tak terbetik pada pikiran Pak Bengkel untuk melariskan barang dagangannya, toh, saya tidak akan bertanya jika keduanya diganti. Setelah rampung, ongkos plus harga onderdil yang diminta hanya Rp 5.000. Saya terkejut, mengapa terlalu murah, di mana ongkos teknisi dan keringat? Tentu secara moral saya tidak boleh hanya memberi ongkos hanya sejumlah yang diminta.

Di luar pola umum
Sebagai bengkel yang laris, saya tanya mengapa tidak sekalian jualan bensin. Jawab Pak Bengkel polos: agar berbagi rezeki dengan tetangga yang punya kedai bensin, sekalipun banyak orang yang menanyakan BBM itu kepadanya.

Pada sikap Pak Bengkel ini jelas sekali terbaca ayat Allah: rezeki teman jangan direbut, sekalipun peluang untuk menambah pendapatan terbuka lebar. Kearifan Pak Bengkel  ini adalah penyimpangan dari pola umum yang sedang berlaku di Indonesia: saling menelikung, saling gasak, dan jika perlu saling menghancurkan demi berebut rezeki.

Perkara haram atau halal sudah berada di luar pertimbangan. Kultur Pak Bengkel yang masih bebas dari pencemaran ini mungkin merupakan sisa-sisa sifat asli Indonesia yang belum ter­gerus oleh ganasnya sisi buruk proses modernisasi. (Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Januari 2013)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts