TUGAS MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PENGARUH PANCASILA TERHADAP
KEHIDUPAN MORAL BERMASYARAKAT
BAB
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A.
Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah...................................................................................
3
C.
Tujuan
Penelitian.....................................................................................
3
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
BAB II. PEMBAHASAN MASALAH .......................................................... 5
A.
Pengertian
Pancasila................................................................................
5
B.
Fungsi Pancasila
..................................................................................... 6
C.
Pengaruh
Pancasila Terhadap Kehidupan Bermasyarakat ..................... 10
D. Mambagun Moral Masyarakat ............................................................... 13
E. Perkembangan Moral/Karakter Manusia ................................................ 17
BAB III. PENUTUP ........................................................................................ 20
A.
Kesimpulan ............................................................................................ 20
B.
Saran ...................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Zamrud
Khatulistiwa, ini lah gelar bagi Indonesia, negeri kaya alam yang kita
banggakan karena kemegahan alam yang tersusun rapi. Hal yang menakjubkan akan
di temui di negara berkepulauan luas nan hijau dan indah ini. Indonesia sebuah
negeri yang nyaman dan menawan dengan pesona keanekaragaman alam dan budaya
berpadu dalam masyarakat yang ramah dan meninggalkan kesan yang mendalam bagi
pengunjungnya. Tidak hanya itu Indonesia yang memiliki kekayaan yang begitu
melimpah, mulai dari tanah yang tumbuh subur, tambang, perak, emas yang banyak
tersimpan di dalam perut bumi indonesia,
membuat Indonesia seharusnya dapat tumbuh dan berkembang menjadi
negara-negara besar dibelahan bumi ini.
Semangat
para pahlawan untuk memerdekakan Indonesia dari negara asing, menjadi salah
satu tanda pemikiran yang di miliki orang-orang terdahulu, bahwasannya jika
kekayaan yang di miliki Indonesia ini di kuasai sepenuhnya oleh negara asing
maka begitu rugi masyarakat Indonesia dulu dengan “memberikan” kekayaan
Indonesia kepada negara asing. Dan ternyata tidak demikian, masyarakat dahulu telah
mengetahui bahwa kekayaan yang di miliki Indonesia ini, tidak se-kaya negara
lain, dengan demikian Indonesia dengan segenap potensi yang di miliki, akan
memperjuangkan meraih kemerdekaan dari jajahan negara asing dan berjuang
mewujudkan negara yang adidaya.
Nasionalisme
yang merupakan sebuah paham dimana azas kebangsaan menjadi sebuah dasar bagi
umat sebuah bangsa dalam bertindak dan berprilaku. Maka pada 1 Juni 1945
Panitia Sembilan dibentuk. Panitia Sembilan ini adalah panitia yang
beranggotakan 9 orang yang bertugas untuk merumuskan dasar negara Indonesia
yang tercantum dalam UUD 1945. Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia
Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta
(Jakarta Charter) yang berisikan:
1. Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3. Persatuan
Indonesia.
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal
Pembukaan UUD 1945. Dan saat ini Indonesia yang telah merdeka dengan usianya
sekarang 67 tahun (terhitung dari tahun 1945-2012), yang secara tersurat
Indonesia telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Berbicara mengenai pancasila, seolah
banyak bukti sudah ketidak konkritan antara nilai-nilai pancasila dalam
kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Bukti ketidak kongkritan itu begitu jelas
di pandang oleh mata, antara lain ;
Kasus korupsi yang begitu gencarnya di
Indonesia ini, seolah tidak adanya lagi rasa untuk membangun negara, melunaskan
hutang-hutang yang di miliki Indonesia, manusia yang disebut sebagai makhluk
ekonomikus selalu merasa kekurangan, dan akhirnya untuk menutup segala rasa
kekurangan itu melakukan tindakan korupsi dan memperkaya diri.
Kisruh ketika demo berlangsung antara
mahasiswa dan aparat kepolisian, antara masyarakat dan aparat kepolisian, tidak
hanya itu tawuran pun seolah menjadi sebuah tren pada saat ini di Indonesia,
mulai dari kaum intelektual para mahasiswa, para pelajar, masyarakat, tidak
hanya itu bahkan para tokoh legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang
seharusnya memberikan contoh kepada masyarakat, dan telah mendapatkan amanah
untuk membenahi negara, akhirnya melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya
tidak di lakukan seperti saat rapat sidang berlangsung dan yang dapat kita
saksikan di media.
Kasus narkoba yang setiap tahun
penggunanya semakin meningkat, para pengguna narkoba yang tidak hanya orang
dewasa, anak remaja juga menjadi sorotan saat ini. Jumlah penderita AIDS/HIV
yang juga ikut meningkat akibat pergaulan sexs bebas, yang tidak hanya
dilakukan oleh orang tua, bahkan mahasiswa.
Tindakan asusila yang ikut menyertai, seolah
melengkapi tindakan-tindakan kasus moral di bangsa ini. Dibutuhkan pendidikan
kewarganeraan dan karakter yang kuat untuk merubah bangsa Indonesia menjadi
lebih baik.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasrkan
later belakang di atas, didapatkan rumusan masalah, antara lain:
1.
Apa yang dimaksud dengan Pancasila ?
2.
Bagaimanakah pengaruh Pancasila terhadap
kehidupan bermasyarakat saat ini ?
3.
Bagaimanakah cara membangun moral/karakter
manusia yang bermartabat ?
C.
Tujuan
Makalah
Tujuan
dari penulisan makalah ini, antara lain:
1.
Untuk mengetahui pengertian Pancasila.
2.
Untuk mengetahui pengaruh Pancasila
terhadap kehidupan bermasyarakat.
3.
Untuk mengetahui cara membangun moral/karakter
manusia yang bermartabat.
D.
Manfaat
Makalah
Manfaat dari penulisan makalah
ini, antara lain:
1.
Makalah ini diharapkan menambah
pengetahun mengenai Pancasila.
2.
Meningkatkan jiwa Nasionalisme
3.
Mengetuk hati kita agar dapat membangun
Indonesia yang lebih bermoral.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A.
Pengertian
Pancasila
Secara arti kata
pancasila mengandung arti, panca yang berarti lima “lima” dan sila yang berarti
“dasar”, artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita,
Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman
Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan
Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular. Pancasila ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945. Rumusan Pancasila yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 adalah:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia
Pancasila telah menjadi istilah resmi sebagai dasar falsafah negara
Republik Indonesia, baik ditinjau dari sudut bahasa maupun sudut sejarah. Berikut
ini adalah pengertian dan definisi Pancasila menurut beberapa tokoh:
1.
Ir. Soekarno : Pancasila adalah isi jiwa bangsa
Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan
Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas
lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.
2.
Prof. Drs. Mr Notonegoro : Pancasila merupakan dasar
falsafah negara Indonesia.
3.
Bung Yamin : Pancasila adalah weltanschauung, falsafah
negara Republik Indonesia, bukan satu agama baru!
B.
Fungsi
Pancasila
1.
Pancasila sebagai Jiwa Bangsa Indonesia.
Menurut Von Savigny menyatakan
bahwa setiap Bangsa punya jiwanya masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya
Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa. Pancasila sebagai jiwa Bangsa lahir bersamaan
dengan adanya Bangsa Indonesia yaitu pada jaman Sriwijaya dan Majapahit. Hal
ini diperkuat oleh Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo yang menyatakan bahwa 1 Juni
1945 adalah Hari Lahir istilah Pancasila. Sedangkan Pancasila itu sendiri telah
ada sejak adanya Bangsa Indonesia.
2.
Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa
Indonesia.
Diwujudkan dalam sikap mental dan
tingkah laku serta amal perbuatan sikap mental. Sikap mental dan tingkah laku
mempunyai ciri khas, artinya dapat dibedakan dengan Bangsa lain. Ciri khas
inilah yang dimaksud dengan kepribadian.
3.
Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia.
Artinya Pancasila dipergunakan
sebagai petunjuk hidup sehari-hari dan juga merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dipisah-pisah antara satu dengan yang lain.
4.
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia atau Dasar Falsafah Negara atau Philosofis Granslog.
Dalam hal ini Pancasila
dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan Negara, atau pancasila
digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara yang sesuai
dengan bunyi pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
5.
Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi Negara Republik Indonesia.
Sumber tertib hukum Republik
Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum serta cita-cita
moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak Bangsa Indonesia. Cita-cita
itu meliputi cita-cita mengenai kemerdekaan Individu, kemerdekaan Bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial dan perdamaian Nasional. Cita-cita politik
mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara. Cita-cita moral mengenai kehidupan
kemasyarakatan dan keagamaan.
6.
Pancasila sebagai perjanjian luhur
bangsa Indonesia.
Pada saat bangsa Indonesia
mendirikan negara atau Proklamasi 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia belum
mempunyai Undang-undang Dasar Negara yang tertulis. 18 Agustus 1945 disahkan
pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 oleh PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia). PPKI merupakan penjelmaan atau wakil-wakil
seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan perjanjian luhur itu untuk membela
Pancasila untuk selama-lamanya.
7.
Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan
Bangsa Indonesia.
Cita-cita luhur Negara Indonesia
tegas dimuat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Karena pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 merupakan penuangan jiwa proklamasi yaitu jiwa
Pancasila, sehingga Pancasila merupakan cita-cita dan tujuan bangsa indonesia.
Cita-cita luhur inilah yang akan disapai oleh Bangsa Indonesia.
8.
Pancasila sebagai falsafah hidup yang
mempersatukan Bangsa.
Pancasila merupakan sarana yang
ampuh untuk mempersatukan Bangsa Indonesia. Karena Pancasila adalah falsafah
hidup dan kepribadian Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang oleh Bangsa Indonesia diyakini paling benar, adil, bijaksana
dan tepat bagi Bangsa Indonesia untuk mempersatukan Rakyat Indonesia.
Sesuai dengan ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa
menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai
pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Berikut 36 butir-butir
Pancasila/Eka Prasetia Panca Karsa.
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
a.
Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab.
b.
Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama
dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan
hidup.
c.
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya.
d.
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada
orang lain.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
a.
Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan
kewajiban antara sesama manusia.
b.
Saling mencintai sesama manusia.
c.
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d.
Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e.
Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f.
Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g.
Berani membela kebenaran dan keadilan.
h.
Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa lain.
3.
Persatuan Indonesia
a.
Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan
keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
b.
Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c.
Cinta Tanah Air dan Bangsa.
d.
Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air
Indonesia.
e.
Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa
yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan
a.
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b.
Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c.
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan
untuk kepentingan bersama.
d.
Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat
kekeluargaan.
e.
Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima
dan melaksanakan hasil musyawarah.
f.
Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai
dengan hati nurani yang luhur.
g.
Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung
jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
a.
Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
b.
Bersikap adil.
c.
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d.
Menghormati hak-hak orang lain.
e.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f.
Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g.
Tidak bersifat boros.
h.
Tidak bergaya hidup mewah.
i.
Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan
umum.Suka bekerja keras.
j.
Menghargai hasil karya orang lain.
k.
Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata
dan berkeadilan sosial.
C.
Pengaruh
Pancasila Terhadap Kehidupan Bermasyarakat
Pancasila
pada saat ini cenderung menjadi lambang dan hanya menjadi formalitas yang
dipaksakan kehadirannya di Indonesia. Kehadiran Pancasila pada saat ini bukan
berasal dari hati nurani bangsa Indoensia. Bukti dari semua itu adalah tidak
aplikatifnya sila-sila yang terkandung pada Pancasila dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Berdasarkan realita yang ada dalam masyarakat, aplikasi
sila-sila Pancasila jauh dari harapan. Banyaknya kerusuhan yang berlatar
belakang SARA (suku, ras, dan antargolongan), adanya pelecehan terhadap hak
azasi manusia, gerakan separatis, lunturnya budaya musyawarah, serta ketidak adilan
dalam masyarakat membuktikan tidak aplikatifnya Pancasila. Adanya hal seperti ini
menjauhkan harapan terbentuknya masyarakat yang sejahtera, aman, dan cerdas
yang diidamkan melalui Pancasila.
Sebenarnya
bangsa Indonesia bisa berbangga dengan Pancasila, sebab Pancasila merupakan
ideologi yang komplit. Bila dibandigkan dengan pemikiran tokoh nasionalis Cina,
dr. Sun Yat Sen, Pancasila jauh lebih unggul. Sun Yat Sen meunculkan gagasan
tentang San Min Chu I yang berisi tiga pilar,yaitu nasionalisme,
demokrasi, dan sosialisme. Gagasan Sun Yat Sen ini mampu mengubah pemikiran
bangsa Cina di selatan.Dengan gagasan ini, Sun Yat Sen telah mampu mewujudkan
Cina yang baru, modern, dan maju. Apabila San Min ChuI-nya Sun Yat Sen
mampu untuk mengubah bangsa yang sedemikian besar, seharusnya Pancasila yang
lebih komplit itu mampu untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Di
Indonesia, sejak diresmikannya Pancasila sampai sekarang, penerapan Pancasila
masih ‘jauh bara dari api’. Yang terjadi pada saat ini bukan penerapan
Pancasila, melainkan pergeseran Pancasila.Ketuhanan yang menjadi pilar utama moralitas
bangsa telah diganti dengan keuangan. Kemanusiaan yang akan mewujudkan kondisi
masyarakat yang ideal telah digantikan dengan kebiadaban dengan banyaknya
pelanggaran terhadap hak azasi manusia. Persatuan yang seharusnya ada sekarang
telah berubah menjadi embrio perpecahan dan disintegrasi. Permusyawarahan
sebagai sikap kekeluargaan berubah menjadi kebrutalan. Sementara itu, keadilan
sosial berubah menjadi keserakahan.
Selain
dari pihak masyarakat sendiri, pergeseran makna Pancasila juga dilakukan oleh
pihak penguasa. Pada masa tertentu, secara sistematis Pancasila telah dijadikan
sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan. Tindakan yang dilakukan
terhaap Pancasila ini turut menggoncang eksistensi Pancasila. Pancasila
seakan-akan momok yang menakutkan, sehingga oleh sebagian masyarakat
dijadikan sebuah simbol kekuasaan dan kelanggengan salah satu pihak.
Dalam
era kesemrawutan global sekarang, ideologi asing mudah bermetamorfosa dalam
aneka bentuknya dan menjadi pesaing Pancasila. Hedonisme (aliran yang
mengutamakan kenikmatan hidup) dan berbagai isme penyerta, misalnya,
semakin terasa menjadi pesaing yang membahayakan potensialitas Pancasila
sebagai kepribadian bangsa. Nilai intrinsik Pancasila pun masih sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisional. Padahal, gugatan terhadap
Pancasila sebagai dasar negara dengan sendirinya akan menjadi gugatan terhadap
esensi dan eksistensi kita sebagai manusia dan warga bangsa dan negara
Indonesia.
Untuk
menghadapi kedua ekstrim (memandang nilai-nilai Pancasila terlalu sulit
dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia di satu pihak dan di pihak lain
memandang nilai-nilai Pancasila kurang efektif untuk memperjuangkan pencapaian
masyarakat adil dan makmur yang diidamkan seluruh bangsa Indonesia) diperlukan usaha
bersama yang tak kenal lelah guna menghayati Pancasila sebagai warisan budaya
bangsa yang bernilai luhur, suatu sistem filsafat yang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai agama, bersifat normatif dan ideal, sehingga pengamalannya
merupakan tuntutan batin dan nalar setiap manusia Indonesia.
Dari
berbagai kenyataan di atas timbul berbagai pertanyaan, apakah pancasila sudah
tidak cocok lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kalau pancasila masih
cocok di Indonesia, dalam hal ini siapa yang salah, bagaimana membangun
Indonesia yang lebih baik sehingga sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
Salah
seorang budayawan Indonesia yaitu Sujiwo Tejo mengatakan bahwa “untuk memajukan
bangsa ini kita harus melihat kebelakang, karena masa depan bangsa Indonesia
ada dibelakang”. Maksudnya kita harus melihat kembali sejarah berdirinya bangsa
Indonesia. Cita-cita untuk memajukan bangsa Indonesia ada disana. Cita-cita
bersama itu adalah suatu paham yang diperkanalkan oleh Ir.Soekarno dalam rapat
BPUPKI. Cita-cita tersebut ialah pancasila.
Pancasila
merupakan perpaduan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu secara konsep pancasila merupakan suatu landasan
ideal bagi masyarakat Indonesia. Presiden Republik Indonesia (Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono) dalam pidato kenegaraannya mengatakan bahwa pancasila
sebagai falasafah Negara sudah final. Untuk itu jangan ada pihak-pihak yang
berpikir atau berusaha menggantikannya. Presiden juga meminta kepada seluruh
kekuatan bangsa untuk mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Penegasan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono adalah bentuk sikap reaktif atas kecenderungan realitas sistem sosial
politik yang saat ini mengancam eksisitensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dengan
demikian pernyataan itu jika sikapi secara konstruktif merupakan peringatan dan
sekaligus ajakan politis kepada generasi sekarang untuk menjaga Pancasila dari
berbagai upaya taktis dari pihak-pihak yang ingin mencoba menggantikannya.
D.
Membangun
Moral/Karakter Manusia
Secara
etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu
kharaseein, yang awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau
lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005). Istilah ini selanjutnya
lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan sesuatu dengan yang
lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga menunjukkan sekumpulan kualitas
atau karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan diri seseorang dengan
orang lain (Timpe, 2007).
Perkembangan
berikutnya, pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu
sosial. Dalam filsafat misalnya, istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk
dimensi moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang
sering menggunakan istilah ēthē untuk karakter yang secara etimologis berkaitan
dengan “ethics” dan “morality”. Adapun ahli psikologi pun banyak yang
mengajukan definisi karakter dari berbagai pendekatan. Ada yang menggunakan
istilah karakter pada area moral saja, ada juga yang memakainya pada domain
moral dan nonmoral. Menurut Hasting et al. (2007), karakter mempunyai domain
moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral ialah semua perilaku yang merujuk
kepada hubungan interpersonal atau hubungan dengan orang lain. Contohnya, kasih
sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain (sifat-sifat
feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang
merujuk kepada pengembangan sifat-sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya,
disiplin, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri
(sifat-sifat maskulin). Baik karakter berdomain moral maupun nonmoral tersebut
mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk kepribadian yang peka
terhadap kepentingan sosial (prososial).
Karakter
juga terkadang dipandang sebagai kepribadian dan/atau lebih bersifat perilaku.
Banyak ilmuwan psikologi yang mengabaikan fungsi kognitif pada definisi mereka
mengenai karakter, namun ada juga yang lebih bersifat komprehensif. Bahkan ada
ilmuwan yang menyatakan bahwa karakter merupakan suatu konstruksi sosial.
Menurut ahli konstruksi sosial, karakter seseorang dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam perkembangan moral pada
manusia.
Salah
satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002),
yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan
seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral. Dikarenakan
sifat karakter yang plural, maka beberapa ahli pun membagi karakter itu ke
dalam beberapa kategori. Peterson dan Seligman (2004) mengklasifikasikan
kekuatan karakter menjadi 6 kelompok besar yang kemudian menurunkan 24
karakter, yaitu kognitif (wisdom and knowledge), emosional (courage/kesatriaan),
interpersonal (humanity), hidup bersama (justice), menghadapi
dan mengatasi hal-hal yang tak menyenangkan (temperance), dan
spiritual (transcendence). Di Indonesia, sebuah lembaga yang bernama Indonesia
Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada
anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter. Megawangi (dalam http://ihfkarakter.multiply.com/journal)
menamakannya “9 Pilar Karakter”, yakni cinta Tuhan dan kebenaran; bertanggung
jawab, kedisiplinan, dan mandiri; mempunyai amanah; bersikap hormat dan santun;
mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama; percaya diri,
kreatif, dan pantang menyerah; mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan;
baik dan rendah hati; mempunyai toleransi dan cinta damai.
Sedangkan
pemahaman moral sendiri
menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct).
Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat
universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk
pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan
manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008)
menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan
karakter seseorang. Oleh karena itu, indikator manusia yang berkarakter moral
adalah:
1.
Personal improvement; yaitu individu yang
mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang diinternalisasi dalam
dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan
sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang diinternalisasi
tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai
integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan
aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh,
individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh
lingkungan sosial untuk mencontek, manipulasi dan korupsi.
2.
Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang
tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan
dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal
tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang
lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang
lain atau mengutamakan kepentingan ummat.
3.
Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana
individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial
yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya
terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman
terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu
tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau
aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang
murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh
guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku
(kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku
teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah
dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah.
Terminologi pendidikan memang berbeda dengan
pengajaran. Perbedaan tersebut terletak pada ranah yang ‘disentuh’ oleh
pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran maka guru hanya
memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada
muridnya. Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru
memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective),
sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal tersebut
sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf Yunani)
yang mempunyai prinsip soul & body dualism, yaitu manusia
hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh karena
itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini
direpresentasikan dengan otak) tetapi juga ‘asupan’ untuk rohani berupa
moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.
Berdasarkan paparan pemahaman istilah di atas maka
pemakalah mencoba mendefinisikan pendidikan berkarakter moral
sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap
fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik
mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan
tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa
mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Sehingga
pendidikan berkarakter moral ini dapat membantu peserta didik memahami
kebaikan, mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love
the good, and do the good). Dengan demikian, karakter sebagai pembeda antara
orang terdidik dengan orang yang tidak terdidik terlihat dengan jelas dari tiga
indikator output yang telah disebutkan. Oleh karena itu, pemakalah mempunyai
perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang membedakan karakter
moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, justru pemakalah
menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang
tidak dapat dipisahkan ketika ingin mengetahui ciri manusia yang berkarakter
moral.
E.
Perkembangan
Moral/Karakter Manusia
Dalam
psikologi perkembangan, selalu ada debat tentang masalah-masalah nature
dan nurture. Artinya, para ahli senantiasa memiliki pendapat yang
berbeda tentang apakah aspek-aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia itu
dibawa sejak lahir atau terbentuk dari lingkungan, mana yang lebih banyak
mempengaruhi seorang individu, dan pertanyaan-pertanyaan serupa. Begitu pula
halnya dengan perkembangan moral atau karakter seseorang, apakah karakter itu
merupakan sesuatu yang bersifat herediter (bawaan lahir/keturunan) ataukah
dapat dibentuk melalui didikan lingkungan. Perdebatan tersebut tidak pernah
selesai dan mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban pasti. Satu hal yang
jelas bahwa memang ada interaksi antara aspek nature dan nurture
dalam perkembangan karakter individu, yang dibuktikan dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli.
Faktor
determinan karakter dapat berupa biologis/ herediter. Penelitian-penelitian
untuk mengungkap pengaruh ini biasanya dilakukan pada subjek anak kembar dan
adopsi serta bersifat longitudinal. Beberapa ahli telah membuktikan adanya
pengaruh genetis yang cukup kuat terhadap karakter anak (Deater-Deckard &
O’Connor, 2000; Plomin and McGuffin, 2003). Beberapa dimensi karakter seperti
empati dan simpati juga banyak diamati melalui perspektif neurosains yang lebih
mengarah kepada herediter (Caspi, dkk., 2003; Decety & Chaminade, 2003;
Harris, 2003)
Di
sisi lain, lingkungan keluarga membawa pengaruh yang cukup penting bagi
pembentukan karakter anak. Kochanska, dkk. (2004) menyatakan bahwa kelekatan
antara orangtua dan anak merupakan aspek yang sangat penting bagi awal
perkembangan moral anak. Untuk selanjutnya, pengasuhan orangtua secara
menyeluruh, meliputi relasi antara orangtua dan anak yang hangat dan responsif
disertai penerimaan, dukungan, serta pemahaman akan membawa dampak terhadap
karakter anak (Grusec, dkk., 2000; Kerr & Stattin, 2000; Kochanska, 2002;
Zhou, dkk., 2002). Di samping itu, pola disiplin yang diterapkan orangtua juga
merupakan hal yang penting (Kochanska, dkk., 2003). Dalam hal ini, disiplin
akan mengontrol perilaku anak dan biasanya dikaitkan dengan konsekuensi negatif
terhadap perilaku pelanggaran. Aspek yang paling penting dari penegakkan
disiplin tersebut adalah konsekuensi yang logis terkait dengan pelanggaran yang
dilakukan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Laible & Thompson (2000) bahwa
disiplin yang menekankan pada penalaran dan logika akan mempercepat terjadinya
internalisasi nilai-nilai pada anak.
Sekolah,
sebagai lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial,
nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang
moralitas, dan sebagainya (Berkowitz, 2002). Adanya ikatan yang kuat dengan
sekolah dan komunitasnya, termasuk juga kelekatan dengan guru, merupakan dasar
bagi perkembangan prososial dan moral anak. Hawkins, dkk. (2001) menyatakan
bahwa seorang anak akan menerapkan sebuah standar atau norma bila standar
tersebut jelas dan disertai dengan adanya ikatan emosi, komitmen, dan kelekatan
dengan sekolah. Dalam hal ini, sekolah perlu memiliki atmosfir moral dalam
rangka meningkatkan tanggung jawab dan mengurangi pelanggaran di sekolah
(Brugman, dkk., 2003). Di lingkungan sekolah, tentu saja anak mengalami
perluasan aktivitas. Relasi dengan teman sebaya pun akan membawa dampak
terhadap pembentukan karakter anak. Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas
bermain merupakan mediator bagi anak untuk mengembangkan karakter mereka (Dunn
& Hughes, 2001; Howe, dkk., 2002; Killen, dkk., 2001; Theimer, dkk., 2001).
Tidak
kalah pentingnya adalah pengaruh komunitas terhadap karakter anak-anak dan
remaja. Televisi, sebagai salah satu bentuk media massa di dalam masyarakat,
memberikan fasilitas peniruan melalui program-programnya. Pada umumnya,
anak-anak dan remaja akan lebih mudah menerima informasi yang dilihat dan
didengar. Anak dan remaja disajikan pada gambaran situasi tertentu yang
disertai dengan reaksi yang seharusnya dilakukan, dan juga akibat dari reaksi
tersebut. Apabila anak dan remaja terus-menerus melihat adegan-adegan negatif,
maka mereka akan menganggap adegan tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Jika
hal ini terus berlanjut, anak dan remaja akan melakukan adegan yang serupa.
Dampak proses imitasi ini telah banyak diteliti, dalam kaitannya dengan
perilaku-perilaku tertentu seperti agresi dan kekerasan (Huesmann, dkk., 2003;
Robinson, dkk., 2001). Di sisi lain, televisi juga membentuk karakter positif
anak, yaitu dalam hal perilaku prososial dan altruis (Mares & Woodard,
2005). Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial mempunyai andil dalam
pembentukan moral dan karakter anak dan remaja. Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan karakter moral seseorang akan
dipengaruhi oleh interaksi antara bawaan yang bersifat herediter dengan
faktor-faktor yang ada di lingkungan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah
satu fungsi pancasila adalah sebagai kepribadian bangsa yang berarti pancasila
merupakan pencerminan dari jati diri bangsa Indonesia yang mana hal itu adalah
pembanding antara bangsa kita dengan bangsa lain. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia harus menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengamalannya pun harus dimulai
dari setiap warga negara Indonesia sampai penyelenggara pemerintahan, sehingga
semua komponen dalam suatu negara mampu melestarikan nilai-nilai pancasila,
agar bangsa kita tidak mudah terpengaruh oleh budaya-budaya asing yang
masuk dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Untuk mewujudkan
semua itu dibutuhkan Pendidikan karakter kepada seluruh masyarakat Indonesia
agar mempunyai karakter; kemampuan sosial (social skill), pengembangan
kepribadian (personal improvement) dan pemecahan masalah secara
komprehensif (comprehensive problem solving).
B.
Saran
Berdasarkan
uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila merupakan
kepribadian bangsa Indonesia yang mana setiap warga negara Indonesia
harus menjunjung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut
dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung jawab. Agar pancasila tidak
terbatas pada coretan tinta belaka tanpa makna.
DAFTAR PUSTAKA
Arindha Ayu Ningryas, (2012). Implementasi Nilai Pancasila Dalam Masyarakat. Diambil pada tanggal 8 April 2013 dari http://arindhaayuningtyas.wordpress.com/2012/05/03/implementasi-nilai-pancasila-dalam-masyarakat-2/
Dr. M. Ghazali Bagus Ani Putra, psi . Membangun Peradaban Bangsa Dengan Pendidikan Berkarakter Moral. Diambil pada tanggal 6 April 2013 dari http://pks.psikologi.unair.ac.id/coretan-kami/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-moral/
www.kumpulanilmu2.blogspot.com.
Diambil pada tanggal 3 April 3012
www.id.wikipedia.org/wiki/Pancasila.
Diambil pada tanggal 3 April 2013
1 komentar:
mau nanya om, ini pake metode apa ya?
Posting Komentar